Aku Mati Muda Kawan
Aku masih muda, kawan,
usia yang seharusnya belajar mencintai hidup dan mimpi,
tapi aku harus berpeluh di jalanan,
menerobos lampu merah waktu, demi sesuap nasi.
Pekerjaanku hanya ojek online,
di punggungku menempel harapan keluarga,
di genggaman tanganku, setir motor tua,
yang tak pernah mengeluh meski diguncang lelah.
Aku mati muda, kawan.
Tubuhku remuk dilindas mobil polisi,
yang lewat begitu saja,
meninggalkan sirene panjang,
sementara darahku perlahan mengering di aspal hitam jalanan.
Aku rakyat kecil, kawan,
yang hanya ingin pulang membawa nasi bungkus untuk ibu,
yang selalu menungguku di depan pintu
dengan doa sederhana:
"Ya Allah, lindungi anakku di jalanan yang bengis."
Namun malam itu, doa ibuku
terhenti di ujung sajadah,
saat kabar duka mengetuk jendela rumahnya.
Tangannya gemetar,
air matanya tak mampu ia bendung,
suaranya pecah:
“Anakku… mengapa kau pulang terbujur kaku,
bukan dengan senyum letih yang biasa kau bawa?”
Jangan tanyakan padanya bagaimana rasanya
memeluk jenazah yang dingin,
anak yang baru saja kemarin
bercanda tentang masa depan.
Jangan tanyakan padanya,
sebab jawabannya adalah jerit yang menggetarkan langit,
ratapan yang ditelan malam,
dan dada yang retak selamanya.
Aku mati muda, kawan.
Negeri ini mencatatku hanya sebagai angka,
sebuah statistik kasus kecelakaan saja,
sementara ibuku mencatatku
sebagai doa yang tak pernah selesai.
Dan di jalanan itu,
yang penuh lubang, polisi tidur, dan ketidakadilan,
darahku mengering
menjadi saksi bahwa rakyat kecil
selalu mati dengan cara yang sia-sia.
Komentar
Posting Komentar