Faham Kebangsaan Bung Karno

Sosio-Nasionalisme-Berdikari
Soekarno telah merumuskan suatu gagasan mengenai nasionalisme yang layak diterapkan di Indonesia sejak ia muda. Gagasan beliau dikenal dengan istilah sosio-nasionalisme. Dalam artikel yang ia tulis tahun 1932, Demokrasi-Politik dan Demokrasi Ekonomi, Soekarno menyinggung inti dari sosio-nasionalisme yang ia rumuskan;
“ Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia.. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada ‘menselijkheid’. Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan, begitulah Gandhi berkata,
Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru yang kami sebut: sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah demokrasi yang kami sebutkan: sosio-demokrasi ”.
Dalam uraian tersebut, jelaslah bahwasanya inti dari paham sosio-nasionalisme atau nasionalisme Indonesia yang digagas Soekarno haruslah nasionalisme yang bertujuan mencapai kebahagiaan umat manusia dan bukannya nasionalisme yang mengagung-agungkan negeri ini di kancah internasional saja. Maka dari itu, Soekarno menginginkan yang menjadi landasan nasionalisme Indonesia adalah kemanusiaan. Tampak adanya kesesuaian sosio-nasionalisme dengan paham humanisme, sehingga sesungguhnya kekhawatiran akan ideologi nasionalisme Soekarno yang akan mengarah pada fasisme tidak beralasan.
Soekarno meneguhkan kembali landasan nilai yang menjadi inti dari nasionalisme Indonesia, yakni kemanusiaan, dalam pernyataan berikut ini:
“ Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka. Nasionalis yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti. Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup .” (Soekarno, 1964).
Soekarno menegaskan bahwasanya nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang berkarakter chauvinis seperti halnya nasionalisme yang digelorakan Nazi-Hitler atau Mussolini di Eropa. Hal ini ditegaskan kembali oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan BPUPKI, ketika ia menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia harus hidup dalam ‘tamansari’nya internasionalisme.
Kelak gagasan nasionalisme Soekarno tersebut mengejawantah dalam konsep
Berdiri di Atas Kaki Sendiri (Berdikari). Ketika berpidato dihadapan Sidang Umum IV MPRS pada tahun 1966, Soekarno menegaskan makna dari Berdikari;
“.. bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerja sama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka. Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kepada kerja sama yang sama derajat dan saling menguntungkan. Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakany pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama derajat dan saling menguntungkan .”
Jelaslah bahwa nasionalisme Indonesia yang digagas Soekarno bukanlah suatu ‘politik isolasi’, tetapi landasan bagi bangsa ini untuk mandiri. Dan dengan kemandirian itulah bangsa Indonesia akan melangkah lebih jauh dalam pergaulan internasional.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dewan Perwakilan Monyet

LINGKARAN

Tifatul: Jangan Lebay Karena Biaya SMS Naik "Orang nggak putus pacaran gara-gara terminasi."