Postingan

Menampilkan postingan dari 2024

Riwayat Jiwa

Masa lalu, bayang samar dalam kilas, Gelombang takdir yang pernah melintas, Hadir sebagai bisikan rahasia, Mengantar jiwa menuju cahaya. Hari ini, detak napas semesta, Dalam sunyi, getar suara Tuhan terasa, Aku, debu yang menari di pelataran fana, Mencari makna di lautan sabda. Masa depan, takdir yang menyelimuti, Namun ia bagaikan bayang ilusi, Bagiku hanya kini yang abadi, Sebab jiwa sejati tak kenal tepi. Kefanaan, tirai tipis yang mudah koyak, Mengungkap keabadian di dalam jejak, Dalam kefanaan, kulihat ada-Nya, Dalam lebur, kudapati hakikat cinta. Keabadian, bukan milik waktu yang berlari, Dia ukiran indah di langit hati, Dalam setiap zikir yang membimbing rasa, Kekasih sejati, tak pernah sirna.

Jejak Kesadaran Semesta

Perasaan, bisikan lembut di dalam jiwa, Mengalir di aliran waktu tanpa suara. Seperti embun yang jatuh di pagi hari, Membawa makna yang hanya dipahami oleh hati. Keinginan, sulur angan yang melambung tinggi, Menembus batas, mengusik sunyi. Namun, di sana ada ragu yang melingkar, Menanti pijakan, menuntut sadar. Pikiran, nahkoda dalam lautan badai, Menjaga arah di gelap dengan cerdas dan  pandai. Ia bertanya, mencari, tak pernah berhenti, Hingga jawaban pun bersenyawa dengan misteri. Alam semesta, luasnya tiada bertepi, Rahasia yang tersembunyi dalam harmoni. Bintang-bintang berbisik pada malam, Bahwa segalanya saling terhubung dalam diam. Diri sendiri, cermin yang tak pernah usang, Menyimpan luka, cinta, dan bayang-bayang. Di dalamnya, kebenaran berdiri sendiri, Menanti keberanian untuk dikenali. Orang lain, cahayanya memantul pada hati, Kadang menjadi rumah, kadang menjadi api. Mereka hadir, mengajar tanpa kata, Meninggalkan jejak yang abadi dalam jiwa. Dan Tuhan, peluk kasih yang...

Demokrasi Bayangan

Jika politik hanyalah kekuasaan, Maka hati telah dilupakan. Janji-janji berkilauan di bibir, Namun rakyat tersesat, tak tahu ke mana harus berlabuh. Orang-orang kaya membajak demokrasi, Mereka menanam uang di ladang ilusi. Setiap suara yang dijual, Adalah sebutir pasir dalam istana palsu. Money politik, racun dalam pesta, Penipuan atas nama mimpi kita. Demokrasi, di mana jiwamu? Tersandera oleh mereka yang memiliki segalanya. Rakyat hanyalah pilar yang rapuh, Dipaksa menopang beban yang salah. Adakah harapan di balik topeng ini? Atau hanya bayang-bayang dalam gelap malam? Jika kekuasaan adalah segalanya, Siapa yang akan menjadi penjaga nurani? Di mana cinta pada tanah air dan manusia, Saat dunia hanya tentang membeli dan menjual hati?

Belajar Pada Sunyi

Belajar pada sunyi, mengubur sepi yang tak lagi berwajah. Aku ingin lebih banyak bicara dalam diam yang tak memihak. Ada gema di dasar dada, tak terdengar, hanya terasa. Seperti angin yang menyeberang perlahan, membawa pesan tanpa suara. Diam adalah rumahku kini, tempat kata-kata tak perlu dikejar. Hanya detak, hanya nafas, mengisi celah yang tak terjamah. Sudah itu saja. Tidak lebih, tidak kurang. Karena di sini, sunyi adalah bahasa yang sempurna.

Penjaga Kebun Anggur, Penempuh Jalan Cinta

Aku hanya penjaga kebun anggur ini, Yang menanti dalam sunyi, di bawah langit tak bertepi.  Di sini, dalam detak hati tanpa bunyi, Aku belajar dari bumi yang diam, dan dari angin yang menderu pergi. Tiap anggur kubelai dengan penuh kasih, seperti merawat janji rahasia yang tersembunyi, Anggur-anggur ini adalah doa-doa tanpa suara, mekar di ujung ranting, rindu pada Sang Pencipta. Cinta adalah jalan, tak terucap oleh bibir yang lemah, hanya jiwa yang berani yang sanggup berjalan pasrah, Di jalan ini, luka bukanlah musuh atau lawan, namun guru, yang mengubah derita menjadi ucapan kesyukuran. Kupetik setiap buah dengan hati bergetar,

"Nyanyian di Tepi Telaga"

Jalan di tepi telaga Ada bunga sekuntum kembang mekar dalam warna cinta  Di sentuh cahaya mentari pagi indah merona Ada gelisah menyelinap di ranting rapuh pohon tua pinggir jalan Tentang taqdir yang akan datang mengambil segalanya  Ada terdengar nyanyian namun perlahan terus melemah